Subscribe:

Ads 468x60px

8.9.11

Komisi IX: Pemerintah Memang tidak Lindungi TKI

Carut Marut Nasib TKI

Jakarta– Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengatakan pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, dan Kepala BNP2TKI, tidak gagal melindungi TKI, tetapi memang tidak melakukan upaya perlindungan. “Bagaimana bisa dikatakan gagal, upaya melakukan perlindungan saja tidak ada,” ujarnya.
Hal itu diungkapkan untuk menanggapi keterangan pers oleh Presiden SBY di Istana Negara, Kamis (23/6) pagi.

Ribka menjelaskan, selama ini pemerintah selalu berlindung di balik dalih tidak adanya lapangan kerja di dalam negeri, padahal memang sengaja mengirim tenaga kerja ke luar agar tetap mendapat pemasukkan nonpajak dari kiriman para pahlawan devisa negara itu. “Kalau pemimpin kita mentalnya masih mental calo, yang penting menerima fee dari luar, ya tidak akan ada solusi,” tegasnya.

Komisi IX selama ini telah membuat panja khusus untuk menangani masalah TKI yang telah menyerahkan hasil kepada Presiden melalui pimpinan DPR. Salah satunya adalah mengenai moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, khususnya ke Arab Saudi. Tetapi baru diproses sekarang.

Ribka juga mengkritisi asuransi yang terus dikumpulkan dari TKI tetapi tidak ada yang mengalir untuk mengurus TKI. “Lihat saja kasus Darsem. Masa warga yang menyekolahkan anak saja sudah susah, apalagi bayar biaya kesehatan, sekarang malah disuruh saweran?” ujar Ribka, yang disambut tawa seisi ruangan pers di Gedung Nusantara III DPR.

Ia mengungkapkan, selama ini, setiap TKI yang akan berangkat ke luar negeri dikenai biaya asuransi sebesar Rp400.000 per orang. “Ya coba hitung kalau uang asuransi itu dikali dengan 8 juta TKI migran kita,” lanjutnya. Tapi kenyataannya, uang asuransi itu tidak digunakan untuk kepentingan TKI yang terseret kasus hukum di negara tempatnya bekerja. (Micom)

Sudah banyak kasus penyiksaan yang menimpa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tidak terdapat perubahan atas berbagai kasus sebelumnya yang terjadi, justru belakangan kasus penyiksaan TKI semakin meningkat. Pemerintah seolah tidak belajar atas kesalahan-kesalahan dimana terjadinya kasus yang sama sebelumnya. Seakan-akan sudah merupakan hal yang lumrah apabila terjadinya penyiksaan TKI setiap tahun. Disebutkan sudah terdapat regulasi yang mengatur mengenai perlindungan atas penempatan TKI. Tetapi faktanya kasus-kasus yang sama tetap saja terjadi dan tidak grafiknya tidak menurun justru meningkat. Perlu dipertanyakan kinerja pemerintah dalam penanganan berbagai yang telah terjadi sebelumnya.

Adapun manfaat dalam hal ini berorientasi pada pemecahan masalah yang solutif dan efisien. Berdasarkan fakta yang terjadi dilapangan dicari fakor- faktor penyebab terjadinya masalah dan alasan masalah justru semakin marak terjadi. Atas fakor permasalah yang ada digali dan dicari problem solving. Dalam hal ini juga dituntut peran serta dari masyarakat dalam pencari solusi. Tidak hanya berperan kritis dengan berbagai masalah yang terjadi tetapi juga memberikan kritik dan saran. Karena ketika pemerintah masyarakat bergandengantangan dalam penyelesaian masalah niscaya akan dicapai hasil yang maksimal dan tentu tidak akan merugikan salah satu pihak. Dengan ini juga membuka wawasan masyarakat dengan hukum positif di Indonesia terutama mengenai undang-undang yang mengatur tentang perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Pengertian merupakan defenisi yuridis mengenai TKI menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Sedangkan penempatan buruh migran dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan buruh migran sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

Dengan adanya undang-undang ini memberikan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengatur penempatan buruh migran. Dalam penempatan tersebut “ Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri” sesuai Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tenang Ketenagakerjaan. Kemudian dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.”

Untuk menghindari ketidakamanan yang akan diderita oleh buruh migran (khususnya Pembantu Rumah Tangga) maka Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menegaskan bahwa “Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri”. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tujuan penempatan dan perlindungan calon buruh migran adalah:
memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
menjamin dan melindungi calon buruh migran sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia;
meningkatkan kesejahteraan buruh migran dan keluarganya.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dinyatakan bahwa “Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri.” Dan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 bahwa Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan buruh migran di luar negeri.

Demi menjamin perlindungan lebih lagi terdahad TKI diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan buruh migran di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Namun meskipun seperti itu, masih saja terdapat penganiayaan terhadap para buruh migran yang sudah jelas dan terang mendapat perlindungan hukum. Perlindungan tersebut dilakuakan dengan penyelengaraan keadilan dan ketertiban untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat sesuai dengan tujuan negara menurut Prof. Subekti, S.H.

Perlindungan hukum terhadap para TKI juga sudah dimuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban:
menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

Perlindungan bagi TKI yang bekerja di luar negeri diawali dan terintegrasi dalam setiap proses penempatan TKI, sejak proses rekrutmen, selama bekerja dan hingga pulang ke tanah air. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 bahwa setiap calon TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlindungan tersebut seperti tertuang dalam ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan masa setelah penempatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar